Saat ini, di Jepang sedang musim panas. Suhu udara rata-rata, baik di siang
maupun malam hari hampir selalu diatas 30 derajat celcius, bahkan kadang
mencapai angka antara 36 hingga 40 derajat. Terik matahari begitu menyengat,
memanggang kulit hingga mengubah warna jadi kecoklatan.
Saat-saat demikian, menjadi ujian tersendiri bagi saya sebagai seorang muslimah
yang ingin selalu mempertahankan diri tampil dengan busana yang rapat membalut
seluruh tubuh. Model busana yang dianggap melawan arus oleh kebanyakan orang
Jepang, hingga membuat aneka pertanyaan hinggap ketika kami saling bertemu.
"Atsu kunai desuka?" (apa tidak panas?), "Kenapa pakai pakaian seperti ini?" dan
sebagainya.
Di sisi lain, penampilan wanita yang serba buka-bukaan di
mana saja, menjadi polusi yang membuat mata ini terasa nyeri. Timbul rasa malu
karena seolah melihat diri sendiri dalam keadaan minim busana, serta kegundahan
hati yang begitu dalam karena tak mampu menjadi pengingat bagi mereka. Kaum adam
pun harus menundukkan pandangan lebih dalam, agar terhindar dari hal-hal yang
tidak diinginkan, karena melihat lawan jenis dengan pakaian yang benar-benar
minim, bertebaran di seluruh kawasan.
Dalam kondisi seperti inilah,
pelajaran bersabar dalam menunaikan ketaatan pada-Nya, dan bersabar dalam
menghindari maksiat terasa memiliki nilai lebih dari hari-hari biasa, karena
tantangannya lebih berat dan lebih beragam.
Di samping hal-hal di atas,
musim panas juga merupakan sarana latihan khusus untuk tetap taat pada
perintah-perintah-Nya, bagi kaum mukmin. Malam yang pendek dan siang yang
panjang, mengubah ritme kehidupan dan jadwal ibadah. Sementara, waktu tidur
tidak bisa digeser lebih awal, supaya tidak kesiangan bangun salat subuh, karena
jadwal kerja tetap seperti hari-hari biasa, yang rata-rata baru pulang di atas
jam sembilan malam.
Bila di Indonesia kita bisa mengatur waktu secara
rutin sesuai dengan waktu-waktu salat yang hampir selalu tetap, maka di musim
panas hal ini sulit untuk dilakukan. Jarak waktu antara salat subuh dan zuhur
begitu panjang, sementara jarak waktu antara sholat isya' dan sholat subuh cukup
pendek. Seperti yang saat ini terjadi, salat subuh sudah masuk waktu pada jam
03.04, zuhur jam 12.03, asar jam 15.50, maghrib jam 19.17, dan isya' jam
20.56.
Bila kita puasa, maka kita harus menahan haus dan lapar selama 16
jam lebih, di tengah suasana panas yang membuat tenggorokan kering dan
melahirkan rasa haus. Di sinilah salah satu bentuk ketaatan seorang mukmin
kepada Allah SWT teruji. Akan mampukah kita mengendalikan hawa nafsu, memenej
jiwa dan raga agar tetap taat pada-Nya, atau sebaliknya. Saya sendiri pernah
melihat, beberapa wanita muslim yang tadinya berbusana muslimah, mengurangi
ukuran bajunya dan melonggarkan kerudungnya, atau bahkan lepas sama sekali
karena merasa terlalu panas. Adapula seorang kawan yang bercerita, "Siapa yang
mau bangun subuh jam tiga pagi, orang baru tidur sebentar." Na'udzubillahi min
dzaalik.
Demikianlah, musim panas memang menjadi sarana belajar bersabar
bagi kita. Sabar dalam menunaikan ketaatan, dan sabar dalam menghindari maksiat
kepada-Nya.
Sungguh benar firman Allah SWT dalam Al-Qur'an: ."..Yaa
Rabbanaa, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.S. Ali Imron: 191).
Rabbanaa,
afrigh 'alainaa sabran Wat tawaffanaa, muslimiin.
Yaa Rabbanaa,
karuniakanlah kesabaran kepada kami,
Dan wafatkanlah kami dalam keadaan
muslim.
Aamiin, yaa Rabbal 'aalamiin.
Wallohu a'lam
bishshowwab.
Ummu Shofi
www.eramuslim.com